Wednesday, November 30, 2011

~~~CINTA LAKI - LAKI BIASA~~~

╔═════════ ೋღღೋ ೋღღೋ ═════════╗

*°•.¸ ★ ¸.•°*”˜˜”*
(¯`v´¯) AssalamuAlaikum
.`·.¸.·´ Wa Rahmatullaahi
¸.·´¸.·´¨) ¸.·*¨) Wa
(¸.·´ (¸.·´ .·´ ¸... Barakaatuh

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
                                                           ೋღღೋ ೋღღೋ

    Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan, kenapa ia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,hari-hari yang dilalui,gadis itu sadar,keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, tetapi milik banyak orang; Paps dan Mama,kakak-kakak,tetangga,dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

    ''Kenapa ?'' tanya mereka dihari Nania mengantarkan surat Undangan.

    Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk dikantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore dikampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon lima belas  watt. Dalam hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali bertentangan diotak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan... menyadari, ia tak punya kata-kata !.

    Dulu gadis berwajah Indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian dikampus adalah kali kedua Nania yang pintar bicara, mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu, saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga, Nania anggap moment yang tepat dimana semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta 'buntu' mereka.

     ''Kamua pasti bercanda '!''
    Nania kaget. Tetapi melihat senyum yang tersungging diwajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak kedua, tiga dan terakhir dari Papa dan Mama, membuat Nania menyimpulkan; mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

    Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponkan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania !
      ''Nania serius !''
Tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika memang Rafli melamarnya.

     '' Tidak ada yang lucu,'' suara Papa tegas, '' Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik !''

     Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar, sebab setelah itu berpasang mata kembali menghujaminya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi pengadilan kepada seorang tertuduh.

     ''Tapi Nania tidak serius degan Rafli,kan ?'' Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, '' maksud Mama, siapa saja boleh datang  melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh ?''

   Nania terkesima.

   ''Kenapa ?''
   
    '' Sebab, kamu gadis Papa yang paling cantik !''

    ''Sebab kamu paling berprestasi, dibanding kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba bela diri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca Puisi se Propinsi. Suaramu bagus !''
''Sebab masa depanmu cerah, sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lainpun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki mana pun yang kamu mau !''

     Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat ia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka, atas satu kata ' kenapa ' yang barusan Nania lontarkan.

     ''Nania cuma mau Rafli,'' sahutnya pendek, dengan air mata siap tumpah. Hari itu ia tahu, keluarganya sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

    ''Tapi, kenapa ?''

     Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

        ''Tak ada yang bisa dilihat pada dia,Nania !''
        ''Cukup !''

      Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya, ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang sebagai manusia. Di mana iman, dimana tawakal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini ?

     Sayangnya, Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli  tampak bersahaja. Nania cuma memiliki naluri dan sedikit pemahaman, berdasarkan perasaan yang telah menuntunnya menapaki hidup, hingga umur 23. Dan nalurinya menerima Rafli. Disampingnya Nania merasa bahagia.

        Mereka akhirnya menikah.

                                        ೋღღೋ ೋღღೋ

      Setahun Penikahan.

    Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik dibelakang Nania, apa sebenarnya yang ia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak dimata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besarnya hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

       ''Tidak ada lelaki yang bisa menciantai, sebesar cinta Rafli pada Nania.''

    Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

    '' Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantik kamu !''

     '' Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar !''

     ''Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar dan punya kehidupan sukses !''

    Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

     ''Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak !''

      '' Betul. Tapi juga tidak ganteng, kan ?''

     ''Rafli pintar !''

    ''Tidak sepintar kamu, Nia !''

    '' Rafli juga punya pekerjaan yang lumayan.''

    ''Hanya lumayan,Nania. Bukan sukses. Tidak seperti kamu !''

    Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

      ''Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli !. Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.!''

    Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

     Ketika 5 tahun pernikahan berlalu. Ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Keduanya mneggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu, sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

    ''Tak apa,'' kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. ''Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.''

    Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi ia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar, selalu bisa menangkap maksud baik,

      '' Sebaikanya Nania Tabungkan saja, ya ?''

    Lalu sambil mengelus pipi Nania, dan mendaratkan kecupan lembut. Dan saat itu, sesuatu seperti kejutan listrik menyentak otak Nania cerah.

   Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia !''

   Pertanyaan kepada dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan bagaimanapun menjadi tak penting.

    Menginjak tahun ke 7 pernikahannaya, posisi Nania dikantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada dipuncak !.

    Bisik-bisik masih terdengar,  setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik-bisik orang dikantor, bisik orang dan tetangga dikanan dan kiri, bisik-bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

        Sungguh beruntung suaminya. Isterinya cantik.
       Cantik,ya....dan kaya ! Tak Imbang !

   Dulu bisik-bisik itu akan membuatnya Frustasi. Sekarangpun masih, tetapi Nania belajar untuk bersikap tak peduli, toh ia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dai hari kehari.

   Tahun ke 10 pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.


                                                        ೋღღೋ ೋღღೋ

   Tapi bayi yang dikandung Nania tidak mau juga keluar. Meski sudah lewat dua minggu dari waktunya.
''Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan !''

     Mula-mula dokter kandungan langganan Nania, memasukkan sejenis obat kedalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan konstraksi hebat, hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat sikecil.

    Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania dirumah sakit. Hanya waktu-waktu sholat, lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan sholat disisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orang tua Nania belum satupun yang datang.

    Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania perlima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

    ''Baru pembukaan satu.''

   ''Belum ada perubahan, Bu.''

   ''Sudah bertambah sedikit,'' kata seorang suster empat jam kemudian menyampaikan harapan, ''Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.''

   Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki selera humor yang baik. Tiga puluh jam berlalu, baru pembukaan dua. Ketika ketuban akhirnya pecah, didahului keluarnya darah, dan mereka terlonjak bahagia, sebab dulu-dulu kelahiran akan segera mengikuti tak lama setelahnya. Perkiraan mereka meleset.

    ''Masih pembukaan dua, Pak !''

   Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa terhibur, karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

     ''Bang ?''

    Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
''Dokter ?''

'' Kita akan segera melakukan operasi. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.''

 ''Mungkin ?''

   Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu ? Bagaimana jika terlambat ?

    Mereka berpandangan. Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya, hingga di depan kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya, hingga ia tidak bisa menyaksikan keterampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik turun. Terakhir, telinga perempuan tiu sempat menangkap teriakan-teriakan disekitarnya, dan langkah-langkah yang bergerak cepat, sebelum kemudian ia tak sadrkan diri.

    Kepanikan berpendar diudara. Bahkan dari luar, Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafadzkan zikir. Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

    ''Pendarahan hebat !''

    Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.

   Ada varises dimulut rahim yang tidak terdeteksi, dan entah bagaimana pecah !

   Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania mnyimpan isak, sambil menenagkan orang tua mereka. Rafli seperti berada dalam atmosfir yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir dipembuluh-pembuluh darahnya, dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti sel-sel kanker merasuki otaknya.

    Setelah itu adalah hari-hari penuh doa untuk Nania.

                                                     ೋღღೋ ೋღღೋ

    Sudah seminggu  lebih Nania koma. Selam itu Rafli bolak-balik dari kediamannya kerumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarga baru mereka. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai emapt hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.

     Mama, Papa dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania dirumah sakit. Sesekali mereka kerumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
  
    Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak dirumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja, menerti dan memberikan izin penuh. Toh   dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

    Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Al Qur'an kecil, dibacakannya didekat telinga Nania yang terbaring diruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra. Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

    ''Nania. Bangun, Cinta !''

    Kata-kata itu dibisikannya berulang-ulang, sambil mencium tangan, pipi dan kening milik isterinya yang cantik.

   Ketika sepuluh ahri berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, membaca Al Qur'an dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.

   Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania kerumah sakit, dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan diabgian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
''Nania, Babgun, Cinta !''

    Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya dimata cintanya, bisa menyaksikan lekukkan senyum dibibir Nania.

    Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Diluar itu Rafli tak mempedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Nania lagi, dan semua antusias perempuan itu; mata, gerak bibir, kernyitan kening,serta gerakan-gerakan kecil lain diwajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

   Hari ke37, doa Rafli terjawab. Nania sadar, dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkan kedadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan air mata yang meleleh. 

      Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Dan Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun kemudian. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak kesekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah, dan menggendong Nania keteras, melihat senja datang sambil memangku Nania, seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

   Ketika malam, Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa Cantik, meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana Nania bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh ?

   Tapi Rafli, dengan upayanya yang terus menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya ialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya dimata Rafli.

    Setiap hari minggu, Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula ia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan direstoran, nonton bioskop, rekreasi kemanapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

   Awalnya tentu Nania sempat risih dengan pandangan orang-orang disekitarnya. Mereka yang menatapnya dengan iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania kesan kemari. Tetapi berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya dijalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh dan berbisik-bisik.

   ''Baik sekali suaminya !''

  ''Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua !''

  ''Nania beruntung !''

  ''Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.''

  ''Tidak, tidak cuma menerima apa adanya. Lihat bagaimana suaminya  memandang penuh cinta !''

   Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama. Tapi ia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang diluar memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi ?.

    Dari teras, Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocaknya permainan.

   Ya. Dua puluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa ia syukuri.

   Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski cantiknya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya. 

   Tapi waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari lelaki biasa yang tak pernah berubah untuknya.


                                                          ೋღღೋ ೋღღೋ

♥♥♥(¯`v´¯)
♥♥♥ '•.¸. ´
♥♥¸.•´
♥ ( ♥_ You ask me :
.........''What do you think of me...??''
I said
......'' I love you....!!''
then you said me :
......''I can not stop loving you...!!♥♥♥(¯`v´¯)
♥♥♥ '•.¸. ´
♥♥¸.•´
                                                                      ♥ ( ♥.
                                                                       _(